KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya kepada kami, yang pada kesempatan kali ini kami dapat menuangkan tinta untuk mengukir ilmu pengetahuan yang sangat di butuhkan dan semoga dapat bermanfaat bagi penulis serta semoga pula bermanfaat bagi pembaca.
Sholawat serta salam
marilah selalu dan selalu kita hadirkan keharibaan Rasulullah muhammad SAW
sebagai uswah al-hasanah yang senantiasa di harapkan syafaatnya di hari kiamat.
Tidak lupa kami
sampaikan banyak terima kasih kepada Bpk. Didi Junedi, MA Selaku dosen
pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits, untuk ridho dan barokah dari beliau
sangat kami harapkan menuju jalan ilmu yang manfaat. Terimah kasih juga atas
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.
Kami sangat mengharap
kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah atau ilmu ini bisa lebih
senpurna dan bermanfaat bagi penulis, terlebih lagi bermanfaat bagi
pembaca..Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada
saat ini, saat di mana peradaban dan kebudayaan menuju ke arah kemodernan yang
ditandai dengan munculnya teknologi yang serba canggih, mulai dari sains sampai
pada teknologi informatika. Agama Islam, sesungguhnya mendapatkan ujian berat.
Di satu pihak, Islam sebagai agama universal dan diklaim sebagai pengatur
selurh aspek kehidupan, dituntut untuk selalu relavan dengan kemodernan
tersebut. Sementara di pihak lain, Islam juga dituntut untuk tidak kehilangan
jati dirinya sebagai aturan Allah yang sakral.
Untuk
itu muncul pertanyaan, memadaikah pendekatan yang selama ini berkembang di
kalangan ulama atau pemikir untuk memahami Islam – terutama dalam hal al-Hadits
– agar senantiasa sejalan dan mampu memberikan penyelesaian terbaik terhadap
persoalan umat manusia yang senantiasa terus berkembang? Pertanyaan inilah yang
– antara lain – mendorong para pemikir untuk mencari “pendekatan-pendekatan
baru” untuk memahami Islam dari sumber al-Sunnah.
Maka,
jika kaum muslimin mencari kebenaran terhadap pemahaman sebuah hadis, mereka
bukan hanya harus mengkaji melalui pendekatan tekstual semata, melainkan juga
semua cara-cara yang dengannya kebenaran itu dirasakan, dipahami, dielaborasi,
dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi, dan dihayati dalam konteks, waktu
dan ruang geografis tertentu. Untuk itu mereka memerlukan metode modern seperti
pendekatan antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi,
filsafat, dan ilmu pengetahuan yang lain.[1][1]
Di
antara pendekatan modern yang dapat digunakan dalam memahami hadis adalah
pendekatan ilmiah dan pendekatan filosofis. Untuk mengetahui lebih lanjut
tentang pendekatan ini, penulis mengangkat sebuah kajian dalam bentuk makalah
yang berjudul: “Metode2 Pemahaman Hadis”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. METODE PEMAHAMAN HADIS MODERNIS
Sebelum
membicarakan lebih jauh tentang metode pemahaman hadis modernis, ada beberapa
istilah penting yang perlu dijelaskan dalam pembahasan ini, seperti: “metode”
dan “modernis”.
Kata “metode” berasal dari
bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[2][2] Dalam bahasa
Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn
tharîqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3][3]
Adapun
kata “modernis”, dilihat dari akar kata, merupakan bentukan dari kata “modern”
ditambah akhiran “is”. Term “modern” berasal dari bahasa Latin “moderna”
yang berarti “sekarang, baru, atau saat ini”. Atas dasar itu, manusia dikatakan
modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.[4][4] Sedangkan
akhiran “is” setelah kata “modern” menyatakan makna “memiliki sifat”.[5][5] Jadi, dapat
disimpulkan bahwa modernis berarti sesuatu yang bersifat kekinian. Jadi secara
keseluruhan, dapat dipahami bahwa metode pemahaman hadis modernis merupakan cara atau
langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam memahami hadis Nabi melalui sudut pandang
kekinian.
Dalam
sejarah Islam, periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-19, yang ditandai
dengan mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke
dunia Islam. Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-ide baru ke
dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya.
Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun
mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.[6][6]
Solusinya,
umat Islam
tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Dalam pemahaman
hadis misalnya, ajaran dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era
klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi
persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas
dasar epistemologi modern. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi
pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti
metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran hadis ditantang untuk memberikan solusi yang
logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai
agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
Kebutuhan
akan sebuah metode pemahaman hadis yang bersifat modernis mutlak dilakukan
dengan berbagai metode pendekatan, di antaranya adalah metode pendekatan ilmiah
dan metode pendekatan filosofis (prinsip maslahah). Kajian tentang pendekatan
ilmiah dan filosofis ini akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
B. MEMAHAMI HADIS DENGAN METODE
PENDEKATAN ILMIAH
Pendekatan
ilmiah terdiri dari dua variabel kata, yaitu “pendekatan” dan “ilmiah”. Kata
“pendekatan” secara bahasa berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam
kaitannya dengan perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas
penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode
untuk mencapai pengertian tentang penelitian.[7][7] Dalam bahasa
Inggris disebut approach yang juga berarti pendekatan.
Pendekatan
juga berarti suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan
kebenaran ilmiah.[8][8] Maka dapat
dipahami bahwa pendekatan yang dimaksud di sini adalah cara pandang, orang juga
sering menyamakannya dengan paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu,[9][9] yang
selanjutnya digunakan dalam memahami hadis.
Sedangkan
kata “ilmiah” berasal dari kata “ilmu” yang berarti kumpulan pengetahuan yang
diorganisir secara sistemik.[10][10] Atau dapat
pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara tertib oleh
manusia.[11][11] Jadi secara
keseluruhan, dapat dipahami bahwa pendekatan ilmiah adalah cara
pandang terhadap pemahaman hadis melalui pertimbangan-pertimbangan yang logis
dan sistematis (berdasarkan ilmu pengetahuan).[12][12]
Ilmu
pengetahuan dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi
dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang
sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas
pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses
bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih
banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas
pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains
berkembang lebih pesat lagi.[13][13]
Dengan
pendekatan melalui ilmu pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda
dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau
menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen
dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata.
Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan
seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[14][14]
Pendekatan
ilmiah dapat digunakan untuk mengkompromikan hadis-hadis yang terkesan
bertentangan dengan rasio, seperti yang terdapat pada hadis-hadis berikut:
1) Hadis tentang Lalat
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله
عنه يَقُولُ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ
فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى
جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً». [15][15]
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara
kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya
terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis
ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena
menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu pembawa
kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih
oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.
Namun
sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut.
Penjelasan Rasulullah SAW ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan
beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika
lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi
menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas
terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang
dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti
biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke
dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya.
Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan
mengeluarkan zat penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[16][16]
Berbeda
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut
berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis
ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar
tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini
memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan
bersikap tidak boros.[17][17]
2) Hadis tentang Larangan Senggama
Waktu Haid
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
قَالَ أَخْبَرَنَا حَكِيمٌ الأَثْرَمُ عَنْ أَبِى تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِىِّ عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ أَتَى
حَائِضاً أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ بَرِئَ
مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ».
“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan
dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari
Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya
dalam keadaan haid atau pada dubur-nya
atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad
yang diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan
persetubuhan selama haid bagi setiap negara, dan bagi banyak pengikut agama,
sudah menjadi adat kesusilaan dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka,
perempuan itu tercemar selama ia dalam kondisi haid. Dalam dunia wanita
sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang dibuat
oleh perempuan haid tidak mau mengembang, dan bahwa asinan atau acar yang
dibuatnya dapat menjadi busuk. Dapatkah “ketercemaran” perempuan haid itu
dibuktikan oleh penelitian ilmu pengetahuan yang akurat?
Dr.
Med. Ahmad Ramali, seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang
kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa dalam
benda cair haid itu terdapat Coccus Neisser. Zat ini bersifat virulent
(dapat membangkitkan kembali penyakit), dan karena itu ia menjadi penyebab
timbulnya penyakit. Sehingga ada kemungkinan pula bahwa dia bersama-sama dengan
sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran
kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung
kemih) yang mendadak pada laki-laki.[18][18]
Pada
perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan batin yang goncang selama haid,
ada pula keadaan-keadaan badan seperti berikut ini:
Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan,
yang dirasa oleh perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio
(darah berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia
maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia
peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat dibangkitkan,
maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia jadi amat
banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada kerentanannya
untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid itu kembali
sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu jadi terasa
nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal ini acap
kali berulang.
Dari
pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah
hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matan hadis
dapat dipahami dan didekati dari berbagai pendekatan. Dengan demikian untuk
menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur
terpenting bagi paradigma sains modern tidaklah mudah dilakukan, sebab
selain diperlukan penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di
bidang hadis serta pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.
C. MEMAHAMI HADIS DENGAN METODE
PENDEKATAN FILOSOFIS (PRINSIP MASLAHAH)
Pendekatan
filosofis terdiri dari dua variabel kata, yaitu: “pendekatan” dan “filosofis”.
Kata “pendekatan” sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Sedangkan kata
“filosofis” berasal dari kata filosofi ditambah dengan akhiran “is”. Kata
filosofi sendiri berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri
atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman praktis, inteligensi). Kata filosofi dalam bahasa Indonesia sama
dengan kata filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato
menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian
pencinta kebijaksanaan.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, filsafat berarti “pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya”. Manusia
filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen
dan bersifat spiritual.[19][19]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara
mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran,
inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.[20][20] Dan menurut
Rene Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”, filsafat baginya
adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.[21][21]
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi
pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[22][22] Sering kali
dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat
tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan lain-lain.
Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama
bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah
kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif
(seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak
terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied
sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[23][23] Siapa pun yang
bergerak pada wilayah “applied sciences” pada dasarnya harus dibekali
persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh “pure sciences”, sedang
yang bergerak pada wilayah “pure sciences”, tidak harus tahu dan menjadi
expert pada setiap wilayah “applied sciences”.[24][24] Cara berpikir
dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat keilmuan, open-ended,
terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok untuk diapreasiasi dan
diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Oleh sebab
itu, pendekatan
filosofis
adalah upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu di
balik formanya.[25][25]
Pendekatan
filosofis ini, bukanlah
hal baru dalam wacana Islam. Ushul Fiqh sebagai metode memahami kitab suci dan
khazanah Islam yang ditulis dalam bahasa Arab, senyatanya, bisa disebut sebagai
kajian filosofis. Sebab di dalam Ushul Fiqh terdapat pembahasan Qiyas (analogi)
yang cara kerjanya lebih luas dan sistematik dari metode logika yang ditawarkan
Aristoteles, misalnya. Di samping itu, terdapat pula kaidah-kaidah syari`ah
yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan formal. Kaidah-kaidah
yang menyingkap tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut dengan prinsip
mashlahah.[26][26]
Mashlahah (المصلحة) secara bahasa dapat berarti
kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mashlahah
adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah (المفسدة)
dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madharrah (المضرّة),
yang mengandung arti “kerusakan”.[27][27] Oleh karena
itu, perbincangan mengenai maslahah berkisar pada penekanan mendapatkan
kebaikan atau manfaat, dan menghilangkan mudarat atau kerusakan.
Sedangkan maslahah secara istilah, ulama Ushûl al-Fiqh
telah memberikan defenisi yang hampir sama satu sama lain. Di antaranya seperti
yang dikatakan oleh al-Ghazâlî sebagai berikut:
لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على
مقصود الشرع، ومقصود الشرع من الخلق خمسة، وهو أن يحفظ عليهم دينهم، ونفسهم،
وعقلهم، ونسلهم، ومالهم. فكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعه مصلحة. [28][28]
“Maslahah
adalah memelihara tujuan syarak, yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka semua yang mengabaikan
pemeliharaan tujuan syarak yang lima ini adalah mafsadah, dan semua yang
mengandung pemeliharaan tujuan syarak ini adalah maslahah.”
Dalam defenisi ini, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi dalam maslahah, yaitu:
1.
Maslahah harus
berada dalam ruang lingkup tujuan syarak, tidak boleh didasarkan atas keinginan
hawa nafsu.
2.
Maslahah harus
mengandung dua unsur penting, yaitu meraih manfaat dan menghindarkan mudarat.
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan
prinsip maslahah, yaitu sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan,
namun tetap saja terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut pandangan ahli
filsafat, sebagaimana dikatakan al-Bûthî, maslahah bersifat keduniaan semata.
Pertimbangan antara baik dan buruk menurut mereka adalah berdasarkan pengalaman
dan panca indra saja. Pertimbangan tersebut berbeda dengan Islam yang
meletakkan pertimbangan kepada kebaikan dunia dan akhirat secara serentak.
Bahkan pandangan terhadap maslahah dunia bergantung kepada maslahah akhirat.[29][29]
Lebih jauh, pendekatan filosofis dapat memberikan
perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlul/hadaf) yang
terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa di sana disebutkan media (wasilah) sebagai
wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis dengan
pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik tujuan atau maksud sebuah
ucapan Rasul.[30][30]
Untuk
itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan media haruslah dibedakan dengan
jelas. Ini disebabkan karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang
bersifat statis dan universal. Tetapi media senantiasa berkembang dan terus
berkembang. Dari sini, maka yang harus dijadikan pegangan adalah tujuan dan
maksud yang dikandung sebuah hadis, karena media merupakan pendukung bagi
tercapainya sebuah maksud.[31][31]
Dalam pemahaman hadis Nabi, pendekatan filosofis
atau prinsip maslahah,[32][32] telah
banyak ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusuf Qardhawy, Muhammad
al-Ghazali, dan lain-lain. Berikut penulis kemukakan beberapa contoh hadis yang
tidak dapat lagi dipahami melalui pendekatan linguistik semata, namun harus dipahami melalui
pendekatan filosofis (prinsip mashlahah):
1) Hadis tentang Kepala Negara dari
Suku Quraisy
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما،
عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لا يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى
قُرَيْشٍ، مَا بَقِىَ مِنْهُمُ اثْنَانِ».[33][33]
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a., dari Nabi SAW, ia
bersabda: “Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang
Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal
dua orang”.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا فِي
بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ، فَأَخَذَ بِعِضَادَتيِ الْبَابِ، فَقَالَ: الأَئِمَّةُ
مِنْ قُرَيْشٍ... [34][34]
Dari Anas, ia mengatakan: suatu ketika kami berada di rumah
seorang laki-laki Anshâr, lalu Rasulullah SAW datang, hingga ia menghentikan langkahnya. Lalu ia membuka
pintu seraya bersabda:“Pemimpin itu dari suku Quraisy…”
Dua
hadis di atas menyatakan bahwa pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy.
Ibnu Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali
dari kalangan Mu’tazilah dan Khawārij, yang membolehkan jabatan
kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy.
Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara
disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang
bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala
negara.[35][35]
Pemahaman
secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam
sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para
penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis
tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan
tentunya benar berlaku secara universal.
Apabila
kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan
petunjuk yang terdapat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa pada dasarnya
manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[36][36]
Dengan
demikian maka diperlukanlah pemahaman secara filosofis bahwa hak kepemimpinan
bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada
masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu
masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk
memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai
pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali
dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[37][37]
2) Hadis tentang Siwak
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ».
“Dari Abu Hurairah
Radiallahu ‘anhu berkata bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
jikalau tidak memberatkan akan umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk
bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat”.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ
لِلرَّبِّ ».
“Diriwayatkan dari ‘Âisyah ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha”.
Tetapi
apakah yang dimaksud dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang
lain? Siwak adalah wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak
untuk membersihkan mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh
karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah
wasilah buatan seperti sikat gigi.
Sebagian
ulama malah telah menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh
Hanbali disebutkan: “Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang
tidak melukai dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau
yang melukai dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah
kayu delima, gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang
bersiwak bukan dengan kayu. Syeikh Abdullah Bassem, peringkas kitab tersebut
telah mengutip kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak
dengan apa saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau
jari-jari tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum
tentangnya.[38][38]
Sejalan
dengan itu, Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa tujuan atau maksud dari hadis ini
sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena
kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan
siwak oleh Rasul, karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Karena
itu, siwak dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan
sama kedudukannya dengan siwak.[39][39]
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kajian secara komprehensif sangat
diperlukan dalam memahami dan menangkap maksud sebuah hadits. Apalagi dengan
perkembangan zaman yang semakin modern, diperlukan metode pemahaman yang modern
pula, seperti metode pendekatan ilmiah dan pendekatan filosofis.
2. Pendekatan ilmiah hadis merupakan
pendekatan yang berusaha menyingkap pemahaman hadis melalui sudut pandang ilmu
pengetahun (sains). Pendekatan ilmiah ini dapat membentuk nalar ilmiah
yang berbeda dengan nalar awam. Nalar ilmiah tidak mau menerima kesimpulan
tanpa menguji premis-premisnya dan tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan
semata. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah merupakan pendekatan yang terbilang baru
dan sulit, karena disamping harus menguasai ilmu hadis, seseorang yang akan
melakukan penelitian hadis juga harus menguasai ilmu sains.
3. Pendekatan filosofis hadis merupakan
pendekatan yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan
formal dalam hadis. Pendekatan ini telah lama dilakukan oleh ulama ushul fiqh
dengan prinsip “mashlahah”, yaitu prinsip yang mengedepankan manfaat dan
menghindarkan mudarat. Pada mulanya pendekatan filosofis tidak digunakan,
karena bertentangan dengan pemahaman tradisionalis-formalistik yang cenderung memahami agama
terbatas pada aturan formalistik, tanpa meragukan makna filosofisnya. Namun seiring
perkembangan zaman, pendekatan inipun mulai diterima dan digunakan dalam
pemahaman hadis.
B. KRITIK DAN SARAN
Demikianlah
makalah ini penulis sampaikan, semoga dapat menambah wawasan keislaman bagi
pembaca, terutama dalam bidang ilmu fiqh al-hadîts. Penulis menyadari
makalah ini belumlah sempurna, masih terdapat kekurangan di sana-sini. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca,
demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu A’lam.
[1][1] Robert D. Lee, Mencari
Islam Autentik, (Jakarta: Mizan, 2000), hal. 171.
[2][2] Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode
Penelitian Masyarakat, (Jakarta:
Gramedia, 1997), hal. 16.
[3][3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. ke-3, edisi ke-3,
hal. 740.
[4][4] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
cet. ke-1, hal. 2.
[5][5]
http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Sufiks. Diakses pada tanggal 21
Oktober 2013.
[6][6] Harun Nasution, loc.cit.
[7][7] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, op.cit.
[8][8] Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu
Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 27.
[9][9] Abuddin Nata, loc.cit.,
hal. 28.
[10][10] Lebih lanjut dikatakan,
bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau kata-kata
“pengetahuan” (knowledge) dan sistematik (systematic) didefenisikan
lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan Teologis yang
disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu
pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat
M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. ke-1, hal. 34.
[11][11] H.A. Reason, The Road
Modern Science, (London: G. Bell and Science, 1959), cet. ke-3, hal. 1-2.
[12][12] Walaupun defenisi ini dirasa
belum memuaskan, namun setidaknya defenisi ini dapat memberikan pengertian
pendekatan ilmiah secara sederhana.
[13][13] Abdul Madjid bin Azis Azis
al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang Iptek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, hal. 192.
[14][14] Yusuf Qardawi, As-Sunnah
sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), cet.
ke-1, hal. 221.
[15][15] Al-Bukhāriy, jilid II, juz
IV, op. cit., hal. 443.
[16][16] Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alâmah
al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah
(Tanda-tanda Kenabian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. ke-1, hal.
124.
[17][17] Yusuf Qardhawiy, Kaifa
Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung:
Kharisma, 1994), cet. ke-3, hal. 23.
[18][18] Ahmad Ramali, Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum
Syara’ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), cet. ke-2, hal. 206.
[19][19] Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, loc.cit., hal. 414.
[20][20] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. ke-2, hal. 15.
[21][21] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat
“Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes), (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), cet. ke-5, hal. 46.
[22][22] M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam,
Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), cet. ke-1,
hal. 8.
[23][23] Ibid.
[24][24] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di
Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), cet. ke-1, hal. 13.
[25][25] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam…op.cit, hal. 31.
[26][26] Ibid.
[27][27] Jamâlal-Dîn Muhammad ibn
Mukarram ibn Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab, (Riyâdh: Dâr ‘Âlam
al-Kutub, 1424 H/2003 M), Juz II, hal. 348.
[28][28] Abû Hâmid Muhammad ibn
al-Ghazâlî, al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t), juz 1, hal. 286-287.
[29][29] Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, Dhawâbith
al-Mashlahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah,
1982), hal. 25.
[30][30] Disadur dari
http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
pada tanggal 21 Oktober 2013.
[31][31] Ibid.
[32][32] Dalam kajian ushûl al-fiqh, kajian tentang
pendekatan filosofis telah banyak ditempuh oleh ulama, antara lain Imam
al-Syâthibî melalui karyanya “al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah” atau
yang dilakukan oleh Syekh ‘alî Ahmad al-Jurjawî melalui karyanya “Hikmah
Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu”. Di dalam buku-buku tersebut, pengarangnya
berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam,
seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah, tujuannya antara lain
agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar dan
menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai
contoh lainnya. Abuddin Nata, loc.cit.
[33][33] Abu Husain Muslim bin
al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim), (t. tp.: Isa
al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), juz III, hal. 1452; Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh
Bukhārīy), (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), juz IV, hal. 234.
[34][34] Abu Abdullah Ahmad ibn
Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab
al-Islāmiy, 1398 H/17978 M), hal. 129.
[35][35] Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu
Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (t. tp: Dār
al-Fikr wa Maktabah, t. th.), hal. 114-118.
[36][36] Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
[37][37] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 40.
[38][38] A. Najiyullah, Kajian
Kritik HAdits Pemahaman Hadits, (Jakarta: Islamia Press, 1994), hal. 10.
[39][39] Yusuf Qardhawy, Kajian
Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
diterjemahkan dari buku dengan judul asli “al-Madkhal li Dirâsah al-Sunnah
al-Nabawiyyah”, (Jakarta: Islamuna Press, 1994), cet. ke-1, hal. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar